Wanita
dengan sosok bercadar berlari ketakutan dalam rintikan hujan sampai ia tak
sadarkan diri dan terjatuh tepat di depan gerbang pesantren. Udara sangat
dingin ditambah hari yang mendung menambah kegigilan semua orang. Begitu yang
dirasakan olehku, seorang putra kiyai H. Yusuf, di kehidupan pesantren dan di
lingkungan santriwan-santriwati. Di rumahku yang disebut pesantren tampak
ayahku H. Yusuf sedang menghangatkan tubuhnya di perapian, ia memanggilku
ketika aku lewat.
“Alif…” terdengar abi memanggilku. “….ikutlah
menghangatkan tubuhmu, di luar udara sangat dingin.” Lanjutnya.
“Iya, Bi.”
Aku terdiam memandangi wajah abi yang mulai keriput, tampak guratan-guratan di
wajahnya yang semakin kentara.
“Kenapa? sepertinya kau ada Kandala,
benarkah?”
“Tidak Bi,
Alif tidak ada Kandala apapun.” Jawabku berusaha menutupi, aku bingung harus
bicara apa. “Abi lelah…?” lanjutku.
“Tentu saja, kau tahu sendiri abi baru saja
mengisi pengajian pahingan seperti biasanya, alhamdulillah jama’ahnya semakin
bertambah.”
“Alhamdulillah…” jawabku “tapi… abi tidak
boleh terlalu kelelahan, abi harus banyak istirahat, abi kan sering kumat
penyakitnya, sebaiknya serahkan saja urusan pondok dengan Abang Abdi, dia kan
orang kepercayaan Abi, ilmunya juga tidak jauh beda dengan abi, hanya saja Abang
Abdi belum mau naik haji.” sambungku
“Kenapa harus Abang Abdi? kau juga bisa kan Alif?”
ketus abi, aku hanya mengerutkan dahiku.
“Ah, abi mana mungkin, Alif belum mampu!”
“Lantas apa gunanya gelar sarjanamu itu? hanya
untuk dipajang saja di dinding!” ledek abi membuatku membisu, aku tak sanggup
berkata-kata lagi. Perkataan abi telah berhasil membungkam mulutku. Aku hanya
menundukkan pandanganku dan berharap semoga Abi tak menanya-nanyaiku lagi.
Kalau dilanjutkan aku bingung harus menjawab apa.
Lima
detik telah berlalu, hujan di luar belum tampak tanda-tanda akan berhenti. Aku
berusaha mengalihkan pembicaraan kami.
“Seandainya saja Ummi masih ada, tentu ada yang
merawat dan menasehati abi.”
Abi hanya mengernyitkan dahinya seraya berkata
“tidak baik berandai-andai, menyalahi takdir namanya kamu kan tahu! biarkan
Ummi mu tenang disana.” jawabnya
“Astaghfirullah…! maaf abi, Alif khilaf.”
Lima
menit telah berlalu lagi. Dalam rintikan hujan yang semakin reda tiba-tiba
semua santri geger karena menemukan sosok wanita bercadar yang tergolek tak
sadarkan diri di gerbang pondok. Wanita tersebut segera diangkat ke Asrama
putri.
“Siapa abdi?”
tanya abi pada abang Abdi yang tampak panik.
“Saya juga tidak tahu Kiayi, abang Fakhri sama
anak-anak putra yang menemukan wanita itu di depan gerbang sudah tidak sadarkan
diri.”
Abi
sangat penasaran, beliau dan abang Abdi ke Asrama Putri, mereka ingin tahu
siapa wanita tersebut, sementara santri-santri lain pun geger dibuatnya.
Sementara Aku, Abang Fakhri dan lainya hanya menunggu di dalam juga dengan rasa
penasaran, kami bukanlah orang-orang yang berhak ke Asrama Putri semaunya. Kami
sabar saja menunggu di pesantren, sementara abang Fakhri dan santri lainya
kembali ke asrama karena sebentar lagi adzan maghrib akan segera
dikumandangkan.
Setelah
sholat maghrib wanita bercadar itu siuman dan langsung dibawa ke pesantren,
kali ini aku dapat melihatnya secara langsung. Di ruang keluarga aku dan Abi
langsung menemui wanita itu yang mengaku bernama Fatihah. Setelah selesai
makan, Fatihah yang kelelahan mulai bicara.
“Namaku Fatihah Altafunnisa, kenapa aku bisa sampai
sini karena aku dikejar-kejar oleh orang yang hendak menculik dan berniat jahat
padaku. Saya yatim piatu, saya tidak memiliki keluarga maupun saudara, saya
hanya seorang wanita musyafir maafkan saya karena telah meerepotkan kalian
semua, saya harus segera pergi dari sini walau tak tahu harus pergi kemana?”
ujar wanita bercadar itu dengan penuh keprihatinan, wanita berjilbab, wajah
yang tetutup cadar hanya bola matanya yang hitam yang bisa kupandang,
benar-benar wanita muslimah yang anggun, Ahh… aku tersadar dari lamunanku saat abi
menyuruhku menyiapkan kamar untuk gadis itu.
“Siapkanlah kamar untuknya, untuk sementara Fatihah
tinggal di pesantren karena dia pasti butuh ketenangan.” perintah abi padaku.
Abi
kembali berbincang-bincang dengan gadis itu ditemani Abang Abdi dan Ana sebagai
santriwati senior di pesantren, sementara aku beres-beres kamar yang akan
ditempati wanita yang bernama Fatihah itu. Sambil menyiapkan selimut, bantal
tiba-tiba aku terbayang wanita bercadar itu. Dalam benakku “Fatihah
Altafunnisa,
nama yang bagus, pasti sebagus parasnya juga akhlaknya, anggunya… berapa ratus
santriwati disini tapi… baru kali ini aku melihat sosok wanita muslimah yang
benar-benar anggun! Astaghfirullah!” aku tersadar betapa aku telah berfikir
yang tidak-tidak tentang wanita itu, aku kembali ke ruang keluarga.
“Abi, kamarnya sudah siap.”
Abi langsung menyuruh wanita itu untuk
istirahat di kamar. “Istirahatlah di kamar ditemani Ana, sementara tinggalah di
Pesantren ini jadilah santri disini jika ada apa-apa jangan sungkan-sungkan
pada kami. “ tutur abi penuh
perhatian, betapa ia tidak tega melihat perempuan musyafir itu yang hidup
sendiri sebatang kara. Ana
segera membawanya ke kamar. Aku, Abi dan abang Abdi siap-siap untuk sholat Isya
di Musholah.
“Apakah
tidak apa-apa jika wanita itu disini?” tanya Abang Abdi membuka pembicaraan
sambil berjalan menuju mushola.
“Memangnya kenapa?” balik tanya Abi
“Ya, kita kan enggak kenal kiayi!”
“ terus mentang-mentang nggak kenal lantas
kita membiarkanya begitu saja, sementara dia sedang susah dan butuh
pertolongan, apalagi dia seorang musyafir muslimah, sudah sepatutnya kita
menolong, Abdi!
kamu kan tahu!”
“Iya sih Kiayi.”
Mereka mulai berwudhu, sementara aku diam saja
pada tempat ini.
Aku tidak ingin terlalu ingin ikut campur karena apapun keputusan Abi, itu
pasti mungkin yang terbaik. Kami siap-siap sholat berjama’ah.
Pagi
harinya setelah sholat subuh seperti biasanya warga pesantren langsung
melaksanakan aktivitas-aktivitas hariannya, begitu pula Aku mengajar di kelas
santri putra untuk mengajar diniyah ba’da subuh seperti biasanya. Sementara Fatihah,
wanita bercadar itu terlelap dalam tidurnya bahkan ia telah melewatkan sholat
subuh sampai si Raja siang muncul. Jam 07.00 pagi aku dan Abi sarapan pagi.
“Abang Abdi kemana Bi?” tanyaku
“Abdi kan hendak ke Yogyakarta, salah satu
keluarganya ada yang hajat.”
“Oh… pagi-pagi sekali.”
“Biarlah, sudah lama dia tidak pulang
kampung.”
“Iya juga sih.”
Sambung Abi. “Oh ya, hari ini Abi ada undangan
di Pesantren Pak Burhan, jadi kamu di pesantren saja jangan kemana-mana, siapa
tahu nanti ada tamu, Abang Abdi kan tidak ada.”
“InsyaAllah Bi.”
Suasana
pesantren yang sepi semua orang di Pesantren larut dalam aktivitasnya
masing-masing,
hanya aku dan wanita bercadar itu saja yang tidak kemana-mana, ku lihat wanita
itu sudah bangun dari tidurnya menuju dapur.
“Maaf, kalau hendak sarapan sudah disediakan
di meja makan, silahkan…” sapaku dengan lembut.
“Terima kasih.” suaranya yang lembut mulai
berucap. Aku terkesima melihat keanggunanya, dibalik cadarnya pasti tersimpan
wajah yang anggun. Ia pun tersenyum dibalik cadarnya. Oh, inikah yang namanya
Cinta? Cinta memang hadir dalam begitu banyak wajah, seribu atau bahkan ribuan
wajah cinta telah menyapaku ketika aku mengundangnya untuk meKandauki
kehidupanku. Ah…! aku benar-benar telah tenggelam di dalam alur kehidupan
cinta, bukan alasan yang tepat bagiku untuk mengabaikan cinta. Apakah di
hadapanku adalah cintaku?.
“Hey..! anda melamun? saya belum mengenalmu.”
ia membuyarkan lamunanku.
“Oh ya, tentu! namaku Alif, senang berkenalan
denganmu.”
“Nama yang bagus, sesuai dengan ketampananmu.”
Aneh, gadis muslimah itu benar-benar berbeda
dari wanita-wanita muslimah lainnya. Sapaan dan kata-katanya seakaan-akan
begitu menggoda. Mungkin ini hanya perasaanku saja, karena terkubur dalam
lamunan cinta. Segera aku keluar dari pesantren, tapi aku tidak bisa membohongi
hatiku, aku benar-benar jatuh cinta padanya rasa ini timbul dengan sendirinya,
tentu aku harus menyapanya dengan pikiran sehatku.
Beberapa
hari telah berlalu bahkan rasa sukaku kepada Fatihah telah diketahui oleh Abi.
“Kalau kau memang tertarik padanya, jadikanlah
ia istri mu. Abi rasa sudah sepantasnya kau menikah.” ujar abi mendukung.
“Tapi… Wali nya?”
“Kalau wali nasab tidak ada kan Kandaih ada
wali hakim.”
Aku tersenyum, betapa semanagatnya aku untuk
menghitbah Fatihah, gadis bercadar itu.
“Jadikanlah dia menjadi bagian dari keluarga
pesantren ini.”
“InsyaAllah, Bi.”
Tapi
ternyata keanggunan paras Fatihah tak seanggun hatinya. Niat baikku ini
disalahgunaan oleh Fatihah, ia akan memanfaatkan kekayaan orang tuaku, kami
akan benar-benar di kelabui oleh pikiran licik wanita bercadar itu. Kami saat
ini benar-benar bodoh karena telah percaya begitu saja. Karena ternyata Fatihah
bukanlah wanita baik-baik, tidaklah seperti yang kami kira. Ia berhasil menipu
kami semua sampai aku menikahinya. Sampai akhirnya aku menghitbah Fatihah dan
kami sah sebagai suami istri.
Pesan
Abi padanya. “Fatihah, jadilah istri yang Fakhriah jangan sekali-kali kamu
meninggalkan suamimu, berikan kebahagiaan dan rawatlah suamimu serta
anak-anakmu kelak.”
Abi berharap Fatihah bisa menjadi istri yang
baik dan bisa membahagiakan ku, itu sudah menjadi harapan setiap orang tua,
terutama aku adalah anak satu-satunya Abi. Aku meneteskan air mata, sementara Fatihah
yang licik kini telah menjadi istriku di otaknya telah tersusun rapih
rencana-rencana licik yang akan menjatuhkanku dan keluargaku. Tapi apa mau
dikata kami tak pernah tahu akan sifat busuknya itu, yang kami tahu Fatihah
adalah sosok wanita baik-baik apalagi ia berkerudung terlebih bercadar pula tak
pernah terpikirkan dibenakku akan kejahatannya. Hati Fatihah berkata. “Aku
benar-benar hebat! aku telah berhasil mengelabui Alif dan Kiayi itu! dasar
bodoh! dengan mudahnya aku menjadi istri anak kiayi yang kaya dan terKandayhur,
dengan begitu aku bisa merampas kekayaan mereka dan segera pergi dari sini, aku
harus pergi keluar negri sebelum polisi mengetahui keberadaanku.” ia tersenyum
pasi seraya menaikkan sebelah alis matanya.
Saat
malam pertamaku ini Fatihah menolak berhubungan denganku dengan alasan ia
sangat lelah dan belum siap. Dengan sabarnya aku memberi pengertian, bahkan
begitu seterusnya selalu ada alasan untuk menolak ia hanya bilang. “Maaf Kanda,
aku sedang berhalangan jadi Kanda bersabar ya…”. Aku terus sabar.
Bahkan sudah hampir satu bulan pernikahan
kami, tapi sampai saat ini aku belum pernah menafkahi batinku layaknya
suami-suami pada umumnya. Di benakku mulai muncul kecurigaan, bahkan aneh tapi
aku selalu berhasil dikelabuinya. Di belaabangku ia senyum sisnis, hatinya
tertawa-tawa karena telah berhasil mengelabuiku. Di tengah malam dikala semua
warga pesantren telah lelap dalam tidurnya, dengan beraninya Fatihah wanita
bercadar itu masuk
ke dalam kamar Abi, ia mengambil semua perhiasaan peninggalan Ummi. Abi tidur
dengan pulasnya sehingga tak menyadari perhiasan-perhiasan almarhummah istrinya
telah lenyap, Fatihah lah pelakunya.
Sebelum
subuhan abi menyempatkan menyaksikan berita di televisi, berita itu mengabarkan
adanya buronan polisi seorang wanita yang bernama Finda, wanita berkedok
musyafir muslimah yang saat ini menyamar sebagai wanita berjilbab dan bercadar
yang kabur dari tahanan setelah dua minggu ditahan dengan kasus pembunuhan dua
orang lelaki, bukan hanya itu saja tetapi juga sebagai PSK kelas atas sekalligus
pengedar narkoba. Abi terkejut saat mendengarnya jantungnya terasa berhenti
mendengarkan penuturan pembawa berita di tv itu yang menampilkan foto Fatihah
alias Finda yang menjadi buronan polisi, abi benar-benar syok karena ia
memiliki menantu seorang buronan.
Pada saat yang sama ternyata Fatihah mendapati
Abi tengah menyaksikan berita tentangnya. “Gawat! Kiayi ini telah tahu siapa
aku sebenarnya!!” pikirnya ceKanda dalam hati.
Tapi abi tenang-tenang saja tak tampak ada
kebencian ketika melihat Fatihah. Karena ia sadar wanita bercadar bukanlah
hanya Fatihah saja, mungkin hanya kebetulan saja wajahnya hampir serupa. Tapi Fatihah
yang takut dan panik segera bertindak, dengan manisnya Fatihah menyuguhi Kiayi
segelas minuman teh yang sudah ia campurkan racun mematikan. Benar-benar
perempuan licik.
“Abi, alangkah enaknya nonton televisi sambil
ditemani teh hangat, di minum Bi.” ia menyuguhi sambil tersenyum pasi.
“Iya terima kasih, suamimu belum bangun
tumben-tumbenan biasanya selalu bangun lebih awal.” ujar Abi sambil meneguk teh
hangat yang beracun itu. Fatihah memandang dengan penuh kebencian, tertawa
dalam hati karena sebentar lagi maut menjemput sang Kiayi.
Azan
subuh berkumandang, seperti biasanya kami tak pernah telat untuk sholat
berjamaah, terKandauk aku walaupun pagi ini aku bangun sedikit telat, mungkin
karena terlalu lelah, sehingga tidurku lelap sekali. Kami berjamaah bersama
para santri, tapi
kali ini tumben untuk abang Abdi yang sedang minum kopi panas, ia tampaknya
sedang malas berjamaah, entah setan apa yang telah mempengaruhnya. Abi tak
pernah telat untuk mengimami jamaah subuh, aku juga sedikit aneh karena Abi
terlihat begitu pucat. Jamaah subuh pun berlangsung. Setelah usai salam yang
pertama Abi langsung tergolek leKanda, dari mulutnya keluar banyak busa kental.
Seisi mushola benar-benar terkejut dan panik terlebih aku. Aku menangis tatkala
Abi menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Prangg!!!” cangkir kopi abang Abdi
pun jatuh pecah ke lantai, benar-benar firasat buruk.
Ku genggam tangan Abi yang dingin dan kaku.
Urat nadinya tak berdenyut lagi.
Ya Allah! apakah malaikat maut
telah membawa Abi pergi tanpa sepengetahuanku! Seisi pesantren pun ikut geger
atas kepergian Kiayi mereka. Kini telah kusaksikan Abi yang telah disambut oleh
maut. Semua orang yang menyaksikan mencucurkan air mata. Ya, air mata
kesedihan.
Pagi
hari yang kelam bendera kuning telah berkibar dalam kebisuan. Angin sepoi pagi
melangkah dalam penderitaan dan kedukaan. Langit pun menurunkan hujan turut
berduka cita atas belas kesedihanya. Roh nya mengucapkan selamat tinggal pada
dunia, ia menghela nafas penghabisan. Apakah aku patut menyalahkan maut! karena
ketidakadilannya padaku. Tapi inilah takdir, Abi akan menemui Ummi di surga
Firdaus.
Pagi
ini almarhum Kiayi akan segera dimandikan, dikafani, disholati dan segera
dikebumikan, tentu dengan meninggalkan banyak kenangan di Pesantrennya yang
sudah lama di pimpinnya bahkan menjadi salah satu Pesantren termahsyur. Kini pesantren berduka,
pesantren benar-benar berkabung atas kepergian tuan mereka.
Seminggu
sudah kepergian Abi, kini hanya aku dan Abang Abdi yang memimpin Pesantren aku
berharap pesantren Abi ini akan selalu berdiri kokoh bersama ratusan santri
yang mengabdi demi menimba ilmu yang barokah. Segala acara abang Abdi dan abang
Fakhri yang mengatur, aku juga mengisi beberapa acara pengajian menggantikan Abi.
Walau bagaimanapun aku adalah penerus Kiayi yang akan meneruskan perjuangan
beliau di pesantren. Semoga Allah merestuinya InsyaAllah…
Ahad
pahing kali ini aku yang mengisi ceramah ini untuk yang pertama kalinya. Dengan
sengaja Fatihah mendengarkan dari samping luar mushalah. Matanya mulai
berkaca-kaca dan akhirnya meneteskan air mata kesedihan, jujur baru kali ini ia
menangis. Hatinya seakan-akan luluh ada perasaan yang berbeda terhadapku. Ia
melirikku, apakah ia mulai menyukaiku? Aku memberi kesempatan melirik kepadanya
dengan senyum sapa.
“Aku telah menemukan cintaku.” gumam Fatihah
dalam hati. Ia merasa beribu-ribu bersalah padaku dan keluargaku.
“Aku harus pergi! aku tidak boleh disini ini
bukan tempatku! ini bukan duniaku.” Dengan mengenda-ngendap dari belakang asrama putra karena
lebih dekat dengan jalan besar, ia berusaha keluar dari lingkungan pesantren.
Dalam keadaan was-was,
tiba-tiba abang Fakhri mengagetkanya.
“Neng Fatihah? sedang apa disini?”
Fatihah benar-benar kaget dan berteriak kecil.
“Apa-apaan sih kamu mengagetkan saya!”
bentaknya
“Maafkan saya Neng, saya Cuma heran saja
kenapa Neng Fatihah bisa ada disini.”
“Ahh… itu… itu… aku… aku..” jawabnya
terbata-bata. “Aku sedang mencari Kanda Alif!”
“Loh, kan abang Alif sedang mengisi pengajian
di mushola.”
“Oh iya, aku lupa ya sudah! saya ke mushola
sekaran, permisi!” jawabnya ketus. Aneh tingkahnya benar-benar mencurigakan. Abang
Fakhri kembali ke Asramanya.
“Mir,
tadi aku bertemu Neng Fatihah gerak geriknya sangat mencurigakan.” Bisik abang Fakhri
pada Ahmad
“Abang Fakhri tidak boleh suudzon, dia kan
juga pemilik pesantren ini jadi bebas mau ngapa-ngapain…”
Bola mata abang Fakhri benar-benar dalam dan
hitam, ia telah merasakan keanehan pada Fatihah. Segera ia tepis
pikiran-pikiran buruknya jauh-jauh.
Malam
ini aku sangat lelah seharian ini aku sibuk dalam acara pengajian pahingan,
mungkin inilah yang dirasakan Abi dulu. Fatihah yang Kandaih disini karena
gagal untuk kabur tadi siang, ia menghampiriku.
“Kanda Alif lelah…?” sapanya dengan lembut.
“Ya, tentu saja sepertinya badanku pegal-pegal
semua.” jawabku menggeliat.
Fatihah sebenarnya ingin berterus terang
kepadaku dan keluarga pesantren yang lain, tapi ia takut aku kaget dan pikirnya
mungkin aku bisa membunuhnya karena murka atas kejahatannya. Semenjak kepergian
Abi akibat ulahnya, ia dihantui rasa bersalah sudah banyak korban yang jatuh
karena kebiadabanya. Fatihah memandangku dengan
keringat dingin bercucuran. Di luar mulai rintik-rintik hujan sejak sore tadi
memang langit terlihat mendung, beberapa hari ini memang sering hujan, padahal
belum waktunya musim penghujan. Baru saja Fatihah akan mengatakan sesuatu,
tiba-tiba kami kedatangan tamu yang tak di duga-duga. Tiga orang polisi
berseragam dua laki-laki dan satu perempuan. Kami kaget terlebih aku, pikirku
ada apa ini? kenapa kami berurusan dengan polisi. Kami segera keluar Aku, Abang
Abdi dan beberapa Ustadz menghampiri di ruang tamu pesantren. Sementara Fatihah
menguping dari dalam kamar dalam keadaan ketakutan dan gemetar tubuhnya basah
kuyup bagai mandi. “Tamatlah riwayatku…” pikirnya
“Permisi, sebelumnya kami mohon maaf
mengganggu aktivitas anda, kami dari pihak kepolisian mendapat kabar kalau
buronan kami telah lari dan dikabarkan bersembunyi di lingkungan pesantren.
Kami akan mendata santriwati disini sekaligus mengintrogasi beberapanya, di
mohon izinnya.” Kata salah satu polisi itu.
“Iya pak, kami persilahkan.” jawabku dengan abang
Abdi
Sementara itu semua santriwati geger dan
panik, padahal mereka tak mungkin dinyatakan bersalah. Fatihah sendirian di
kamar dalam kebimbangan dan ketakutan bercampur rasa bersalah. “Bagaimanakah
nasibku…?” lirihnya gemetar.
Introgasi
selesai tidak tampak ada kecurigakan. Para polisi itupun berpamit pada kami. Fatihah
seedikit lega pernapasanya mulai berfungsi lagi. Aku menghampirinya di kamar.
“Fatihah, kau sangat pucat sakit kah?”
“Tidak Kanda, aku tidak apa-apa.”
“Ya sudah, sebaikya kita segera tidur, hari
sudah malam nanti kita bangun lalu mujahadah bersama, akhir-akhir ini Kanda
merasakan akan datangnya sebuah Kandaalah. Kita harus lebih banyak mendekatkan
diri pada Yang Maha Kuasa.”
Fatihah menangis, di kamar hanya aku dan
istriku ini kubuka cadarnya dan ku hapus air mata yang membasahi pipinya, entah
apa yang membuatnya menangis.
“Kenapa kau menangis?”
Allah telah membuka pintu hatinya untuk bisa
mencintaiku dengan setulus hati bukan karena harta belaka.
“Jangan ceraikan aku Kanda… apapun yang
terjadi…”
“Apa maksudmu…?” Tanyaku heran.
Fatihah tak kuasa menahan tangis, ia pandangi
wajahku yang tengah menatapnya heran. Ia sadar selama ini ia hidup bersama
orang yang perhatian dan mencintainya dengan tulus. Aku hanya mengira mungkin
ia hanya merasa bersalah karena sampai saat ini belum memberikan nafaqoh
batinnya.
“Aku tak pernah punya pikiran untuk
menceraikanmu, aku sangat mencintaimu apa adanya…” Jawabku
Ketika baru saja akan kucium keningnya, di
luar ribut kembali dengan suara kegaduhan, bukan karena hujan melainkan
datangnya kembali para polisi kali ini bukan tiga orang polisi tapi beberapa
mobil polisi mengepung dari luar pesantren.
“Apa yang terjadi?”
Pintu kamarku segera digedor-gedor dengan
kasarnya. Setelah pintu terbuka polisi langsung menangkap Fatihah dengan
kasarnya tanpa perasaan bahwa dia istriku, bukan binatang. Kami mulai ribut
karena kemarahanku atas ketidaksopanan mereka, aku juga tidak tahu apa perKandaalahannya.
“Alif! Istrimu ini adalah buronan polisi yang
lari dari tahanan lalu dia lari kepesantren ini, aku telah membaca
berita-berita tentangnya juga laporan polisi beserta foto-foto yang beredar,
dia menyamar sebagai wanita musyafir dan berkedok sebagai muslimah! dia wanita
biadab! dia Finda yang menyamar sebagai Fatihah Altafunnisa!”.Jantungku terasa
berhenti berdetak, penuturan Abang Abdi benar-benar mengagetkanku. Ternyata ia
yang melaporkan pada polisi. Setelah mengetahui kejahatan Fatihah dan abang Abdi
segera menghubungi polisi. Kini terungkap semua tabir kejahatan Fatihah alias Finda.
Fatihah segera diseret keluar dengan jeritan histeris.
“Kanda. Maafkan aku…!”
“Aku tidak menyangka kau…!” aku benar-benar
syok.
“Berikan aku kesempatan tuk bicara….!” polisi
merenggangkan pegangannya memberi kesempatanya untuk bicara.
“Maafkan aku Kanda, aku telah menghianatimu,
aku memang jahat selama ini aku telah menghianati kalian semua!” di hadapan
kami dan seluruh santri, Fatihah yang nama aslinya adalah Finda menjelaskan
semuanya. “Aku memang seorang buronan, aku lari dari tahanan setelah dua minggu
ditahan dengan banyak kasus, aku telah membunuh dua orang lelaki yang telah
meniduriku tanpa meninggalkanku sepeser uang pun. Aku adalah wanita penghibur di hotel ternama! aku
seorang pelacur
Kanda! aku juga pemakai narkoba. Aku telah terjangkit Virus HIV, makanya aku
selalu menolak pabila Kanda mengajakku berhubungan. Kau terlalu mulia Kanda,
kau terlalu suci untuk tertular virus jahannam ini, aku tidak mau menyakiti
lebih banyak orang lagi! walau bagaimanapun aku telah menaruh cinta padamu.”
Badanku gemetar, otakku terasa akan pecah. Aku
benar-benar syok, ku jambaki rambutku. Astaghfirullahh… aku benar-benar tak
menyangka akan menikahi wanita penzina dan pembunuh seperti dirinya pikiranku
telah kacau.
“Kau manusia atau hewan!” bentakku keras di
hadapannya
“Aku akui aku memang wanita bajingan Kanda,
aku juga yang telah meracuni abimu sampai meninggal, karena dia telah tahu
siapa aku sebenarnya, aku pula yang telah mengambil perhiasan Ibu mu!”
Kemarahanku semakin meledak, tanganku sampai
melayang di wajahnya, kalau bukan karena dihalang oleh abang Abdi mungkin sudah
kubunuh wanita bajingan
itu. Aku hilang kendali.
“Biarkan aku mematahkan batang lehernya!!!” abang
Abdi merangkulku. “Jangan Abang! istigfar
abang.. istigfar.!”.
Saat itu pula Fatihah lepas dari genggaman polisi, Ia lari dari halaman
pesantren lari ke arah jalan raya, semua polisi segera bertindak. Beberapa
santri ikut mengejarnya. Di malam yang hujan ini benar-benar malam yang penuh
dengan kemarahan. Peristiwa ini benar-benar bagai petir yang menghujamku.
Fatihah
wanita bercadar itu terus berlari. Di buka jilbab yang selama ini menutupi
auratnya sampai ia hilang kontrol, ia tak menyadari telah melaju cepat mobil
berwarna hitam. “Tiiiiiitttttt!!!” kerasnya suara klakson mobil itu tak memberi
kesempatan Fatihah untuk menghindar. Tubuhnya di hantam mobil itu, terdengar
suara jeritan Fatihah teriakannya memecah keramaian suara gemuruh hujan. Darah
membanjiri tubuhnya yang tak lain adalah Finda.
Selang
beberapa hari Fatihah lepas dari Keadaan kritis dan berhasil diselamatkan,
bahkan saat ia siuman aku berada di sampingnya. Walau bagaimanapun ia istriku.
“Kanda…”
“Kamu jangan banyak bergerak, kamu masih sangat lemah.” tuturku
penuh kasih sayang, aku tak larut dalam kebencianku.
“Maafkan aku Kanda, aku telah menghianati
cinta sucimu.”
“Sudahlah bukan saatnya membahas itu, aku
mencintaimu dan membutuhkanmu di sampingku dengan kesejatian dan kebahagiaan
hidup, bukan dengan kepalsuan yang terus menerus menyeretku dalam kesemuan
semata.”
“Ceraikan aku Kanda, aku terlalu kotor
untukmu, carilah pendamping hidup yang lebih suci dariku aku tidak pantas
untukmu.”
“Tapi…!”
“Aku mohon, aku tak ingin menambah kesalahanku
untuk yang kesekian kalinya.” ia memohon hal yang berat bagiku.
“Baiklah jika itu maumu…”
“Aku akan ditahan seumur hidup, aku tidak akan
membiarkan Kanda menantiku. Tapi sebelumnya aku ingin meminta maaf pada
keluarga pesantren, karena aku telah mencoreng nama baik pondok terutama pada
kalian semua.”
Maka
esok harinya Fatihah bersama polisi datang ke Pesantren untuk menyampaikan
permohonan maafnya pada warga pesantren terutama padaku.
“Maafkan aku Kanda, ceraikanlah aku…” tuturnya
dihadapanku dengan berlinang air mata.
Aku meneteskan air mata. “Baiklah, aku
ceraikan kamu setelah kamu keluar dari lingkungan pesantren ini maka jatuhlah
Talakku padamu…”
Polisi
segera membawanya kedalam mobil dan
lambat laun meninggalkan kehidupan pesantren. Aku menatapnya dari jauh, abang Abdi
menepuk pundakku dan
seraya berkata. “Yang sabar abang…”
Aku pasrah pada yang Kuasa, aku berdo’a sambil
menggigit kenanganku yang pahit. Dadaku sesak aku tak bisa menangis.
Beberapa
bulan kemudian lewat kabar berita aku mendengar kematian Fatihah. Mayatnya
ditemukan di kamar mandi tahanan dengan beberapa tikaman di tubuhnya. Bau mayat
tercium, aku
juga kaget mendengarkan kematian mantan istriku itu tewas dengan mengenaskan.
Betapa perkasanya maut, betapa bangganya malaikat membawanya pergi.